Kede Berita, Jakarta - Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur membatalkan pengungkapan dokumen hasil Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir Said Thalib (TPF KMM) kepada publik menuai reaksi dari berbagai pihak.
Pada putusan yang dibacakan oleh Hakim Ketua Wenceslaus dijelaskan bahwa PTUN mengabulkan permohonan Kementerian Sekretariat Negara untuk membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) Nomor 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016.
Artinya, hasil penyelidikan kasus tersebut tidak dapat dipublikasikan kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Penetapan Kesembilan Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 2004 tentang TPF KMM.
Istri almarhum Munir, Suciwati menilai putusan PTUN tersebut telah membenarkan penghilangan dokumen oleh negara.
Suci menyebut dokumen tersebut seharusnya ada dalam arsip Kementerian Sekretariat Negara. Pasalnya dokumen itu telah diserahkan secara resmi oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005. SBY juga telah menyerahkan dokumen salinan dokumen tersebut kepada Kementerian Setneg pada Oktober 2016.
"Putusan tersebut telah melegalkan tindak kriminal negara yang dengan sengaja menghilangkan atau menyembunyikan keberadaan dokumen TPF Munir," ujar Suci, Sabtu (18/2).
Menyikapi keputusan tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) akan mengajukan kasasi atas putusan PTUN tersebut.
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Yati Andriani menyebut pihaknya sangat keberatan dengan putusan tersebut. Menurutnya keputusan tersebut telah mengabaikan fakta-fakta bahwa dokumen tersebut sudah diserahkan kepada pemerintah pada masa pemerintahan SBY.
Yati menyebut ada kejanggalan dalam proses pemeriksaan oleh majelis hakim. Hakim langsung memanggil semua pihak untuk mengambil keputusan, tanpa memberi penjelasan mengapa mereka tidak melakukan pemeriksaan secara terbuka.
"Seharusnya bisa dilakukan, walaupun tidak diharuskan mengingat ada fakta-fakta baru. Misalnya setelah keputusan KIP keluar ada dokumen yang dikirimkan oleh SBY ke sekretariat negara, itu harusnya jadi fakta baru yang dipertimbangkan," jelas Yati saat dihubungi oleh media.
Untuk itu, selain mengajukan kasasi terhadap putusan PTUN tersebut ke Mahkamah Agung KontraS juga akan memberikan laporan ke Komisi Yudisial (KY).
KontraS meminta KY untuk memverifikasi, mengecek dan jika diperlukan melakukan pemeriksaan kepada majelis hakim di PTUN Jakarta Timur. Itu untuk melihat apakah proses pemeriksaan sudah dilakukan sesuai prosedur atau belum.
Yati juga mengatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelesaian Sengketa Informasi di Pengadilan, disebutkan bahwa hakim yang memeriksa informasi tersebut adalah hakim yang mengerti atau memahami informasi publik.
"Kami meminta KY memeriksa apakah ketiga hakim tersebut sudah memenuhi kriteria bahwa mereka menguasai soal informasi publik. Kalau sudah apa saja parameternya atau kriterianya sehingga tiga orang hakim ini dianggap kapabel untuk memeriksa perkara ini," tutur Yati.
Yati menyebut pemerintah dari awal memang tidak memiliki niat baik untuk bisa mengungkap kasus pembunuhan Munir ini. Padahal kasus ini menurutnya sangat sederhana. Pertama, ada Keppres yang menyebut bahwa hasil penyelidikan harus diumumkan kepada publik.
Kedua, ada fakta terjadi pertemuan penyerahan dokumen kepada presiden. Ketiga, Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk mencari dokumen tersebut.
"Kami jadi curiga sebetulnya ini memang sengaja untuk mencari celah, mencari alasan untuk tidak menemukan dokumen itu dan tidak mempublikasikan dokumen itu," ujar Yati.
Muhammad Hafiz dari Human Rights Working Group (HRWG) mengatakan yang paling penting bukan hanya soal pembukaan dokumen TPF Munir kepada publik, melainkan menindaklanjuti hasil dari temuan tersebut sebagai langkah awal untuk menyelesaikan kasus Munir.
"Jadi ada tindak lanjut yang harus disikapi secara serius dan diperhatikan oleh pemerintah. Yang lebih besar dari apa pun itu, berlanjutnya dokumen itu ditindaklanjuti agar pelaku utamanya juga bisa ditangai dan diproses secara hukum," ungkap Hafiz.
Hafiz menagih komitmen Jokowi yang dari awal serius menyelesaikan kasus Munir ini. Bahkan yang terakhir, lanjut Hafiz pertemuan Jokowi dengan para ahli hukum menyatakan kasus Munir ini bisa diselesaikan oleh pemerintah Indonesia dengan melihat segala macam permasalahannya.
"Sehingga bayangan atau harapan kami agar pemerintah berani untuk menyingkap kasus ini siapa pelakunya, berangkat dari hasil kajian atau pun hasil investigasi TPF itu," jelasnya.
Pertanyaannya, apakah memang ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin menutupi kasus Munir ini kepada masyarakat? Ataukah dalih yang dikemukakan oleh Kementerian Sekretariat Negara memang benar adanya?
Yang pasti masyarakat masih menunggu komitmen pemerintah untuk bisa mengusut kasus pembunuhan Munir ini hingga tuntas.
Pada putusan yang dibacakan oleh Hakim Ketua Wenceslaus dijelaskan bahwa PTUN mengabulkan permohonan Kementerian Sekretariat Negara untuk membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) Nomor 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016.
Artinya, hasil penyelidikan kasus tersebut tidak dapat dipublikasikan kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Penetapan Kesembilan Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 2004 tentang TPF KMM.
Istri almarhum Munir, Suciwati menilai putusan PTUN tersebut telah membenarkan penghilangan dokumen oleh negara.
Suci menyebut dokumen tersebut seharusnya ada dalam arsip Kementerian Sekretariat Negara. Pasalnya dokumen itu telah diserahkan secara resmi oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005. SBY juga telah menyerahkan dokumen salinan dokumen tersebut kepada Kementerian Setneg pada Oktober 2016.
"Putusan tersebut telah melegalkan tindak kriminal negara yang dengan sengaja menghilangkan atau menyembunyikan keberadaan dokumen TPF Munir," ujar Suci, Sabtu (18/2).
Menyikapi keputusan tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) akan mengajukan kasasi atas putusan PTUN tersebut.
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Yati Andriani menyebut pihaknya sangat keberatan dengan putusan tersebut. Menurutnya keputusan tersebut telah mengabaikan fakta-fakta bahwa dokumen tersebut sudah diserahkan kepada pemerintah pada masa pemerintahan SBY.
Yati menyebut ada kejanggalan dalam proses pemeriksaan oleh majelis hakim. Hakim langsung memanggil semua pihak untuk mengambil keputusan, tanpa memberi penjelasan mengapa mereka tidak melakukan pemeriksaan secara terbuka.
"Seharusnya bisa dilakukan, walaupun tidak diharuskan mengingat ada fakta-fakta baru. Misalnya setelah keputusan KIP keluar ada dokumen yang dikirimkan oleh SBY ke sekretariat negara, itu harusnya jadi fakta baru yang dipertimbangkan," jelas Yati saat dihubungi oleh media.
Untuk itu, selain mengajukan kasasi terhadap putusan PTUN tersebut ke Mahkamah Agung KontraS juga akan memberikan laporan ke Komisi Yudisial (KY).
KontraS meminta KY untuk memverifikasi, mengecek dan jika diperlukan melakukan pemeriksaan kepada majelis hakim di PTUN Jakarta Timur. Itu untuk melihat apakah proses pemeriksaan sudah dilakukan sesuai prosedur atau belum.
Yati juga mengatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelesaian Sengketa Informasi di Pengadilan, disebutkan bahwa hakim yang memeriksa informasi tersebut adalah hakim yang mengerti atau memahami informasi publik.
"Kami meminta KY memeriksa apakah ketiga hakim tersebut sudah memenuhi kriteria bahwa mereka menguasai soal informasi publik. Kalau sudah apa saja parameternya atau kriterianya sehingga tiga orang hakim ini dianggap kapabel untuk memeriksa perkara ini," tutur Yati.
Yati menyebut pemerintah dari awal memang tidak memiliki niat baik untuk bisa mengungkap kasus pembunuhan Munir ini. Padahal kasus ini menurutnya sangat sederhana. Pertama, ada Keppres yang menyebut bahwa hasil penyelidikan harus diumumkan kepada publik.
Kedua, ada fakta terjadi pertemuan penyerahan dokumen kepada presiden. Ketiga, Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk mencari dokumen tersebut.
"Kami jadi curiga sebetulnya ini memang sengaja untuk mencari celah, mencari alasan untuk tidak menemukan dokumen itu dan tidak mempublikasikan dokumen itu," ujar Yati.
Muhammad Hafiz dari Human Rights Working Group (HRWG) mengatakan yang paling penting bukan hanya soal pembukaan dokumen TPF Munir kepada publik, melainkan menindaklanjuti hasil dari temuan tersebut sebagai langkah awal untuk menyelesaikan kasus Munir.
"Jadi ada tindak lanjut yang harus disikapi secara serius dan diperhatikan oleh pemerintah. Yang lebih besar dari apa pun itu, berlanjutnya dokumen itu ditindaklanjuti agar pelaku utamanya juga bisa ditangai dan diproses secara hukum," ungkap Hafiz.
Hafiz menagih komitmen Jokowi yang dari awal serius menyelesaikan kasus Munir ini. Bahkan yang terakhir, lanjut Hafiz pertemuan Jokowi dengan para ahli hukum menyatakan kasus Munir ini bisa diselesaikan oleh pemerintah Indonesia dengan melihat segala macam permasalahannya.
"Sehingga bayangan atau harapan kami agar pemerintah berani untuk menyingkap kasus ini siapa pelakunya, berangkat dari hasil kajian atau pun hasil investigasi TPF itu," jelasnya.
Pertanyaannya, apakah memang ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin menutupi kasus Munir ini kepada masyarakat? Ataukah dalih yang dikemukakan oleh Kementerian Sekretariat Negara memang benar adanya?
Yang pasti masyarakat masih menunggu komitmen pemerintah untuk bisa mengusut kasus pembunuhan Munir ini hingga tuntas.
Post a Comment