Raja Salman dan Para Pangeran Arab di Mata Umat Islam Indonesia

Kede Berita, Jakarta - Kemarin, Raja Salman mendarat di Indonesia dan akan di negeri ini selama 9 hari ke depan. Wow lama banget kan?

Untuk ukuran orang Indonesia yang biasa berlibur dalam hitungan hari, tentu akan berpikir sembilan kali lipat sebelum melakukan perjalanan sepanjang itu. Hitungan ini nyaris seperti hitungan umrah kelas menengah Indonesia yang menganggap ibadah umrah sebagai ibadah semi liburan. Rombongan umrah reguler dari daerah-daerah Indonesia, yang mungkin hanya dilakukan oleh orang-orang yang berpikir hanya bisa berumrah sekali seumur hidup, biasanya menghitung dengan empat belas hari termasuk waktu perjalanan.

Tentu saja tidak bijak jika menyamakan perjalanan seorang raja penguasa wilayah terbesar Semenanjung Arab dengan rakyat kelas menengah Indonesia yang kian hari kian religius. Mereka bahkan biasa menjadwalkan perjalanan ibadah umrah secara berkala, pakai arisan segala.

Toh tulisan ini juga tidak berniat membanding-bandingkan perjalanan kenegaraan Raja Salman beserta rombongan yang mencapai 1.500 orang, dengan perjalanan spiritual masyarakat Indonesia kebanyakan. Dari semangat dan perjuangan tentu sama sekali beda, orang-orang Arab tentu tak perlu umrah dan belajar agama untuk dikira menjadi Islami oleh masyarakat Indonesia.

Berpakaian sehari-hari pun sudah dikira Islami, bukankah mereka lebih sering pakai gamis/jubah putih? Di Indonesia, banyak yang meyakini jubah sebagai simbol Islam. Ini agak seperti adanya sebagian orang yang menganggap sarung dan peci sebagai simbol agama Islam di Indonesia.

Bagaimana pun juga, kunjungan Raja Salman ini adalah kunjungan spesial, yah namanya juga raja, apa pun pasti jadi spesial. Tapi ingat ini bukan tentang martabak yang dinilai spesialisasinya dari jumlah telor yang digunakan. Ini tentang Raja Salman dengan segala kemewahan dan kegantengan para pangeran yang menyertainya, tentu saja beserta harapan yang ditumpahkan sebagian bangsa Indonesia, khususnya sebagian umat Islam kepadanya.

Rombongan Raja Salman berjumlah 1.500 orang menyertakan sedikitnya 10 menteri dan 25 pangeran. Sebagai negara dengan sistem kerajaan, tentu saja 10 menteri dan 25 pangeran ini masih memiliki hubungan darah dengan sang raja. Jadi tak perlu bertanya tentang kegantengan mereka, bila salah satunya ganteng, tentu yang lain tak perlu diragukan lagi, toh mereka sekeluarga.

Bila selama ini, perempuan dengan latar belakang konservatif dan tegas secara agama di dunia maya cenderung tidak pernah membahas masalah tampang, tampan, ganteng, jelek atau bulukan dengan alasan itu semua ciptaan Tuhan, maka kedatangan Raja Salman beserta para pangerannya mengubah semua itu.

Justru dari merekalah tumpah ruah pujian atas pesona fisik para pangeran ini. Sebagian menyatakan dengan malu-malu, sebagian mengungkapkan secara langsung namun didahului basa-basi permintaan maaf kepada kaum lelaki pribumi, sementara sebagian lainnya langsung saja main hajar tanpa sungkan-sungkan. Bila sebelumnya, pujian fisik tentang ganteng dan gagah hanya didominasi oleh masyarakat pop dengan mengacu kepada para selebritis di dunia entertainment, kini arus berbalik 180 derajat.

Tak cukup memuji secara verbal, urusan ganteng ini pun dicarikan sandaran pada dalil agama, di mana dalam Islam disepakati bahwa manusia paling ganteng seantero jagat sepanjang zaman adalah Nabi Yusuf sebagai nomer duanya. Tentu saja Nabi Muhammad selalu nomer satu. Tetapi pesona Nabi Muhammad tidak boleh dibanding-bandingkan, maka Nabi Yusuf adalah pilihan pertama urusan pesona ketampanan dalam Islam. Padahal Nabi Yusuf ini adalah putera dari Nabi Ya'qub, Kakek Moyang Bani Israel. So, semoga setelah memuji para pangeran Saudi ini, mereka bisa berdamai dengan Israel atau Yahudi sebagai saudara tua Islam? Jangan mimpi deh, itu urusan lain.

Mengapa tak terjadi pujian-pujian sebaliknya di dunia maya dari kaum lelaki Muslim kepada para puteri dari Saudi? Yang ini jawabnya jelas, sumber-sumber di internet sama sekali tidak mendukung. Ini masalah aurat yang sulit dicarikan dalilnya, apalagi oleh mereka yang cenderung konservatif dan tegas urusan berbusana.

Kehebohan fenomenal lain yang terjadi menjelang kedatangan Raja Salman ke Indonesia adalah adanya beberapa pihak yang mengklaim berjasa untuk
mendatangkan sang raja. Kehebohan ini pun wajib dimaklumi, kenapa?

Karena mungkin mereka berharap keuntungan bagi pribadi atau kelompoknya, entah secara materi, politik atau pun sekedar gengsi. Sesubjektif apa pun, gengsi masih merupakan hal penting bagi beberapa masyarakat Indonesia, penting atau pura-pura dipentingkan dalam hal ini tak menjadi soal.

Berbagai spanduk dan baliho besar atas nama ormas-ormas Islam dipampang di jalanan ibukota untuk menyatakan dukungan dan sambutan atas kedatangan sang raja beserta rombongan. Beberapa lini masa bahkan mencarikan pembenaran pada teks-teks keagamaan (Alquran dan Al-Hadits) atas beberapa hal terkait kedatangan sang raja, temasuk kemewahan yang menyertainya. Hal ini pun dianggap perlu, mengapa?

Mungkin mereka beranggapan, sebagai raja yang menyematkan gelar keagamaan Khodimul Haramaian (pelayan dua tanah suci Makkah-Madinah), tentu sang Raja sudah memikirkan masak-masak segala perilaku dan keadaannya untuk disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama. Khususnya saat berkunjung ke negeri dengan jumlah penduduk Muslim mencapai hampir sepuluh kali lipat populasi rakyat negaranya. Jadi penting kan? Untuk menghadirkan kesan agamis ke rakyat negeri ini? Daripada dipertanyakan, masak iya orang Arab nggak agamis? Lalu membawa mobil dari sana pun dicarikan dalil agama. Hello?

Ini seperti beberapa masyarakat indonesia sering salah kaprah, daerah-daerah dengan predikat kota santri, lalu dikira semua masyarakatnya santri. Sering-sering timbul pertanyaan, terutama saat akan mengambil seorang pemuda sebagai menantu, orang sana kan santri-santri, masa dia enggak? Ini hanya misal saja, jangan diambil hati. Teman-teman santri pun dikira santri, padahal santri bisa dan dianjurkan berteman dengan siapa saja, khususnya yang bukan santri. Nah kan jadi tumpang-tindih dan saling menelikung?

Lini masa juga dipenuhi dengan argumen-argumen tentang pentingnya kedatangan Raja Salman bagi perjuangan Islam di Indonesia. Orang-orang ini menganggap bahwa kedatangan Raja Salman dapat berdampak positif bagi kedatangan dakwah Islam di Indonesia.

Mungkin tak dapat dipungkiri, selama ini banyak sekali lembaga-lembaga keagamaan Islam di Indonesia menerima bantuan dari Arab Saudi untuk amunisi dakwah, itu fakta. Tetapi mengharapkan lebih dari itu, sebenarnya nyaris mustahil, Raja Salman tetaplah Raja Salman, dia hanyalah seorang raja di
Semenanjung yang sebagian besarnya berupa gurun pasir.

Seberapa besarpun dia berkuasa di sana, tetap saja kekuasaannya terbatas, bahkan nyaris tak punya kuasa apa pun di negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Raja Salman bukan jelmaan dewa yang bisa mengubah rumput hijau dan gemericik air menjadi gurun pasir tandus dan beroase sejuk.

Untuk melindungi saudara seagamanya dari hukum di tanah kekuasaannya, ya, saudara sesama Muslim yang kebetulan berasal dari Indonesia dan berstatus buruh migran pun, belum tentu dia sanggup, dan selama ini terbukti tidak selalu sanggup. Kata tidak sanggup ini sudah diperhalus loh ya, daripada menggunakan kata tidak mau? Nanti dituduh pencemaran nama baik. Selebihnya, tentang harapan-harapan akan keuntungan ekonomi dan investasi itu biarlah dibahas para ekonom.

Sementara Ratusan ribu buruh migran yang sehari-hari terus dikungkung oleh ketakutan pada kekerasan fisik dan seksual tanpa tahu kemana mereka harus meminta keamanan di negeri yang berdasarkan syariat Islam ini. Di mana sedikitnya ada 40 TKI yang terancam hukuman mati dengan 4 orang yang sedang menunggu eksekusi.

Pemerintah Arab Saudi juga masih memiliki tanggungan wajib lain kepada bangsa Indonesia, baik wajib karena memang tanggung jawabnya (menurut logika hukum Indonesia) maupun wajib karena Raja Salman telah menjanjikannya, tentu kita sepakat, bahwa janji adalah hutang. Kewajiban-kewajiban itu antara lain adalah korban musibah runtuhnya crane pembangunan Masjidil Haram yang terjadi pada haru Jumat tanggal 11 September 2015 di mana pihak berwenang Saudi menyatakan bahwa sedikitnya 107 orang meninggal dan 238 terluka. Dari jumlah itu, sebanyak 12 jemaah haji asal Indonesia meninggal dan 49 orang luka-luka.

Melalui Menteri Urusan Haji Arab Saudi Bandar bin Muhammad Hajjar, pemerintah Saudi menjanjikan akan memberikan santunan sebesar 1 juta riyal setara Rp3,5 miliar bagi ahli waris dari korban meninggal. Sedangkan korban luka akan mendapat santunan sebesar 500 ribu riyal, setara Rp1,7 miliar.
Setahun lebih berlalu dan janji masih masih berupa janji dengan penjelasan masih diproses. Duta Besar Arab Saudi di Indonesia, Osama bin Muhammed Al-Shuaibi hingga kemarin pun masih sekedar bisa menjanjikan, tidak lebih.

Di tahun yang sama jamaah haji Indonesia juga mendapatkan musibah di Mina, di mana tercatat 127 orang tewas, terdiri dari 122 jemaah haji Indonesia dan 5 WNI yang mukim di Arab Saudi. Kita pun banyak mendengar janji untuk keluarga yang terkena musibah, yang hingga kini pun belum terwujud.
Janji lain? Haduh sudahlah jangan terlalu berharap dulu.

Raja Salman dan para pengeran itu memang kaya, termasuk kaya akan janji, tak perlu berdebat. Sebab kalau tidak kaya, mana mungkin mereka datang berrombongan sebanyak itu dengan pesawat yang sudah dipamerkan kemewahannya. Sekali lagi, mereka juga sejak lahir sudah bertetanggaan dengan Baitullah.

Jadi intinya adalah, semua pembicaraan tentang kunjungan Raja Salman dan para pangerannya adalah tentang menarik keuntungan, entah apa pun bentuknya. Maka mari kita doakan semoga kunjungan Raja Salman dan rombongan ini membawa keuntungan untuk banyak pihak, termasuk pihak-pihak yang selama ini menunggu janji.

Post a Comment